Dini hari, udara dingin Kledung merangsek masuk selimut. Selimut yang ku kenakan seakan kehilangan fungsinya➖ya jelas saja➖hanya selembar kain bermotif belang hitam-putih. Terbangun, ku lihat keadaan sekitar; tv rumah Pakde masih aktif menyiarkan pertandingan piala dunia antar Uruguay melawan Saudi Arabia, terpal sebagai dinding bagasi sedang sibuk mempertahankan posisinya dari riuh angin yang berseru, serta Louis dan Mas Imam yang terlelap namun menggigil. Ya, kami tidur di ruang tamu. Sejenak, ku ikuti pertandingan, meminum teh sisa semalam, hingga kembali terpejam.
***
Kembali terbangun, lagi-lagi karena udara yang dingin. Tak lama, pikirku, jaraknya dengan sempat bangun tadi. Namun, kali ini Louis sudah dalam posisi duduk, memeluk kedua lutut kakinya, menahan getar tubuhnya,
“Jam berapa, Bang?” tanyaku
“Belom lama azan Subuh, Bang” jawabnya
“Udah salat, Bang?”
“Belum, Bang, dingin banget”
Aku beranjak hendak membangunkan Maudi, Wira dan Zamilah yang tidur di ruang dalam. Posisi Wira yang saat hendak tidur berada di pojok kiri berselimutkan sleeping bag, kali ini sudah rapat dengan Maudi yang berada di pojok lainnya terbungkus selimut tebal. Bangun, bangun, kataku, sembari menepuk mereka satu per satu. Ada yang bangun kemudian menyandarkan tubuhnya pada tembok. Ada juga yang yang berupaya bangun melawan kantuk dengan mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun, pada akhirnya tak semuanya salat, ada yang memilih menarik kembali selimutnya tak kuat menghadapi udara yang dingin, apalagi air, sesuatu yang digunakan untuk berwudu.
***
Kali ini rintik hujan membangunkanku. Sudah biasa sepertinya aku bangun lebih akhir dibanding teman-teman yang telah berkumpul di samping ku hehehe. Sembari menunggu reda, kami bergantian mandi yang mau tak mau harus kami lakukan sebelum tidak mandi selama pendakian, kemudian beberes barang bawaan kami. Pukul 9 pagi, hujan pun pergi.
“Eh, itu ada asap di puncak Sindoro ya?” celetuk ku pada yang lain usai mengintip melalui jendela.
“Eh iyaya, asap apa itu?” sahut yang lain…
“Itumah biasa, Mas, Mbak. Itu asap kawah Sindoro yang masih aktif” jawab Mas Imam.
“Loh, iya Mas? Terakhir saya kesini kayanya ga begitu aktif kawah yang di puncak” tanyaku heran, walaupun terakhir kesini tahun 2012.
“Iya, Bang. Makin kesini makin aktif, apalagi akhir-akhir kemarin Gunung Merapi juga lagi aktif-aktifnya memancing gunung sekitar”
“Iya, Bang, tahun kemaren pas gue kesini juga pas di tenda kerasa gemuruhnya” tambah Louis mempertegas penjelasan Mas Imam.
Kami keluar, melihat lebih jelas sembari menikmati udara luar. Segar. Kami dapat melihat Gunung Sumbing yang berada di belakang rumah dan Gunung Sindoro di depan rumah dengan jelas. Keduanya sedang diselimuti awan lenticular, atau, awan yang menyerupai topi menutupi sepertiga bagian atasnya. Tak berlama-lama, kami masuk kembali mengambil peralatan pendakian kami, bersiap, dan pamit pada Mas Imam menuju basecamp untuk mendaftar dan melapor terlebih dahulu sebelum pendakian.
Sesampainya di basecamp, kami mengisi buku perizinan. Pendakian 2 hari 1 malam membayar 15 ribu tiap orangnya. Jika hendak naik menuju pos 1,5 menggunakan jasa ojek, membayar 25rb/orang. Kondisi basecamp saat itu tidak seramai semalam kami datang. Mungkin, ramai semalam karena terjebak hujan, atau, sepi karena para pendaki sudah berangkat trekking lebih awal pagi tadi. Setelahnya, kami mampir ke warung membeli spiritus, jas ujan plastik, dan keperluan lainnya.
***
Basecamp – pos 1,5 estimasi 10 menit dengan menggunakan ojek
Pukul 10.10 kami memulai pendakian. Eh bukan, bukan pendakian, namun perjalanan walaupun sebenarnya kami pun tidak berjalan, melainkan naik ojek. Pertama, takut kami terlalu sore sampai di tempat camp. Kedua, jika trekking sangat menguras tenaga serta memakan waktu sekitar 1,5 jam. Ketiga, kami terpacu waktu, tempat, dan perasaan ingin cepat mendirikan tenda. Jika saja kami tidak terjebak macet yang berlarut dan kemarin tidak hujan, seharusnya kami sudah bermalam semalam. Jalur yang dilewati awal-awal berupa bebatuan rapi ditengah perkebunan warga. Setelah melewati Gapura, barulah suasana perhutanan dengan jalur yang bervariasi.
Bagiku dan Maudi yang pernah ke Gunung Papandayan bersama, naik ojek merupakan suatu aib bagi pendaki. Dulu, kami pasti mengumpat ketika sedang asik trekking tiba-tiba ojek yang membawa pendaki lewat. Alih-alih ingin sekali mendokumentasikan selama perjalanan di atas ojek karena suatu hal yang jarang ada di dunia pendakian (semoga, aamiin) dan seru karena kondisi jalurnya, hanya sesekali saja jadinya. Selain melewati para pendaki yang sedang trekking, kami pun harus fokus dan tetap rapat tidak boleh duduk terlalu belakang ditakutkan terjengkang. Dan… kami lebih memilih menundukkan kepala dibanding harus menyapa atau menyemangati saat menyalip pendaki. Karena kami tahu, melakukan hal tersebut akan menjadikan kami sebagai bahan umpatan dan membuat pendaki kesal.
Oh ya, motor yang digunakan ojek disini hanya motor bebek biasa. Biasa sekali tanpa ada modifikasi di knalpot maupun ban yang dijerat besi. Jadi, saat bertemu tanah becek, tidak menutup kemungkinan akan selip atau terpeleset. Jika kalian perempuan, tak usah sungkan izin ke bapak supir jika ingin mengeratkan tangan di bajunya.
Pos 1,5 – pos 2 estimasi 30 menit
Selesai melakukan pembayaran serta rehat sejenak karena paha yang kerap kali keram saat di atas motor, pukul 10.25 kami berkumpul, berdoa sebelum memulai pendakian. Di hadapan kami menanti tanjakan berkontur tanah. Silih berganti, Maudi dan Wira berada paling depan, sedang zamilah konsisten di tengah, kemudian aku dan Louis senantiasa di belakang dengan bawaan kami yang sedikit berlebih menghambat langkah kami selagi belum beradaptasi. Hanya sedikit bonus dan tempat berteduh, kecuali memaksakan istirahat barang sejenak sebelum beristirahat penuh di shelter pos 2. Sesampainya di shelter, sejenak kami tanggalkan tas, mengorek isi tas, mengambil camilan yang mudah dikeluarkan dan fanta sisa kemarin yang kami bawa untuk dikonsumsi (niatnya untuk menghabiskan kok, bukan sengaja bekal). Saat itu suasana shelter didominasi oleh pendaki yang hendak turun. Kami bertanya bagaimana cuaca, ramai tidaknya yang naik, dan suasana di tempat camp.
Pos 2 – Batu Longko estimasi 30 menit
Usai beristirahat, 11.40 kami melanjutkan pendakian. Pos Batu Longko merupakan oase di tengah panjangnya jalur menuju pos 3. Tanjakan dengan bebatuan besar mulai menampakkan diri. Tepat di sebelah plang Batu Longko, dapat digunakan untuk istirahat sejenak menyesuaikan diri dengan jalur yang sudah tak biasa lagi.
Batu Longko – Pos 3 estimasi 1,5 jam
Jarum jam menunjukkan pukul 12.15. Pendakian Gunung Sindoro via Jalur Kledung baru benar-benar di mulai. Menuju pos 3, semakin banyak tanjakan yang musti dilalui. Kondisi trek yang lembab dan cuaca mendung membuat tanah ataupun batu yang dilewati menjadi licin. Kami dan beberapa pendaki yang baru naik, memilih menepi ketika berpapasan dengan yang turun, memberi mereka kesempatan dan memudahkan dalam memilih pijakan. Tak lama kami melanjutkan perjalanan, ada seseorang yang menyeletuk;
“Eh, masa gada yang kenal elu sih, tegor temen gue dong, tegor.”
“Iya lu, payah. Kirain gue ada yang minta foto bareng, taunya… ditegor aja engga.”
Sontak pecah tawa di rombongan mereka. Masih ingat kata Jamil kalau kemarin basecamp ramai salah satunya karena kehadiran artis co-host acara talkshow? Kami lanjut naik setelah tak mengindahkan mereka namun kembali berhenti akibat berpapasan dengan rombongan pendaki yang hendak turun.
“Eh, gada yang engeh tadi? Itu yang kata Jamil ada artis kemaren” tanyaku.
“Yang mana, Ryl?” tanya mereka heran
“Itu yang tadi nyeletuk ke kita, itu tadi ada si pendamping Sarah Sechan di acaranya”
“Lah, iyaa? Yang mana dah, gue ga engeh bang hahaha” tanya Wira
“Hahaha yang tadiii, kan ada cewenya tuh di tengah-tengah baju merah, nah itu diaaa.”
“Lah, tau aja luuu, heran gue” nimbrung Maudi.
“Wkwk maap, tv gue net doang cuy hahaha. Yaudahlah, lanjut-lanjut!
Gara-gara dia gapake make-up tadi emang keliatan beda banget.” Jawabku.
Entah kenapa tontonan ku akhir-akhir ini memang hanya saluran Net tv saja, acara di saluran lain hanya menampilkan drama kehidupan, politik, ataupun berita yang belum tentu kebenarannya, gosip.
Tanda sudah dekat pos 3 ialah melewati semacam terowongan serta tanah bertanjak dan menemui pohon yang melintang.
Camp Pos 3
Pos 3 berbeda dengan Sunrise Camp. Jika ingin ke Sunrise Camp, harus naik beberapa menit lagi. Memang, jika dari luas lapang lebih direkomendasikan bermalam di Sunrise Camp. Namun, disana benar-benar terbuka tanpa adanya pepohonan yang menaungi. Berbeda dengan Pos 3, lahan untuk mendirikan tenda terbatas namun masih ditutupi pepohonan dan ada warung milik Pakde Kuat yang menawarkan minuman hangat, gorengan, dan jajanan.
Kondisi pos 3 sedang ramai. Mungkin, kami kelompok terakhir yang sampai sebelum waktu malam tiba. Aku menanggalkan sejenak barang bawaan untuk menyusul Louis yang hendak mencari spot untuk mendirikan tenda kami, sedang yang lain berisitirahat sembari menjaga barang tersebut. Spot yang tersisa agak miring, kami berpikir membiarkan hal tersebut daripada musti lanjut naik ke atas dengan cuaca yang sudah berawan kabut.
Louis, yang sebelumnya berniat solo hiking, ternyata lebih prepare dibanding kami yang berkelompok dalam barang bawaan maupun kuantitas yang Ia bawa. Karena Louis pun membawa tenda, kami pun mendirikan 2 tenda dimana nanti aku, Wira dan Jamil, sedang Maudi bersama Louis dan tas-tas kami. Setelah tenda bediri, Louis pamit untuk menghampiri Bude yang kebetulan sedang menjaga warung. Kami memasukkan dan mengatur posisi barang-barang di dalam kemudian bergantian beberes diri dan mengganti pakaian. Ingat, sesampai dan setelah tenda berdiri, jangan lupa untuk mengganti pakaian. Selama pendakian, badan pasti bercucuran keringat, dan karena hal tersebut jika kita tidak mengganti pakaian bisa menyebabkan hipotermia pada malam harinya.
Louis kembali dengan bekal segenggam plastik berisikan gorengan; tempe mendoan dan tahu yang hangat lengkap dengan renyahan dan cabai rawitnya. Kami pun mengerubungi Louis dan menetap di satu tenda hingga terbenamnya matahari. Kami akrab; bertanya satu sama lain, bercerita, dan bersenda gurau, menyambi memakan gorengan, menyesap minuman hangat yang dibuat, dan melihat Gunung Sumbing bersama. Tubuh gagah Gunung Sumbing serasa dekat jaraknya dengan posisi kami yang berada di seberangnya. Berselimut awan yang seolah berlarian ditubuhnya, dan, sang langit menghiasinya dengan corak warna yang silih berganti, indah. Terlena dengan pemandangan tersebut, kami lupa mendokumentasikannya. Segera aku menyiapkan actioncam maupun kamera dengan tripod untuk membuat time-lapse. Namun… memang seperti biasanya, tak lama awan dan langit malu, tahu keelokannya akan diabadikan. Awan tak lagi berlarian, tenang, dan menutup seluruh tubuh Gunung Sumbing. Langit menutup dirinya dengan awan pucat, dan hasilnya pun tidak seperti yang dilihat sebelumnya. (Pernah mengalami kejadian yang sama? Pasti kesal, tapi… yasudahlah, sebaik-baiknya memori adalah otak kita sendiri, hahaha)
***
Memasuki waktu Magrib, kami bergantian salat. Ada yang menggunakan air untuk wudu nya, ada pula yang hanya tayamum karena dinginnya hawa saat itu. Ada yang menunaikan salat magrib, ada juga yang merapel salat-salat sebelumnya sekaligus yang belum sempat ditunaikan selama pendakian terlebih cuaca dan jalur yang dilewati. Semua sesuai kepercayaan masing-masing.
Kami menyiapkan peralatan dan bahan makanan yang akan dimasak. Malam-malam, hawa dingin, dan bersama kawan berada di satu tenda merupakan waktu yang pas untuk menyantap mi rebus. Tapi… tetap, nasi yang utama. Tambah pula mencamil jajanan setelahnya untuk mengembalikan energi yang telah terkuras sebelumnya, supaya saat tidur perut dalam kondisi terisi, tidak masuk angin, dan membuat nyenyak. Nesting (panci dalam istilah dunia pendakian) yang kami gunakan untuk merebus mi, kini digilir berputar searah jarum jam dalam lingkaran kecil kami. Walaupun kesepakatan masing-masing mengambil satu sendokan, namun, yang namanya lapar dan tak sabar menunggu kesempatan selanjutnya yang harus melewati beberapa orang terlebih dulu, ada saja yang mengakali dengan dalih menyeruput kuah hangatnya, sengaja yang dibuat tak sengaja ada saja mi yang terbawa. (Pernah, pernah? Hahaha).
Malam yang dingin, apalagi kami baru saja menyantap mi rebus hangat, membuat diri enggan banyak beraktivitas, apalagi untuk keluar berfoto-ria. Namun, malam terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Terlepas esok kami akan summit, tetap saja, waktu malam adalah waktu yang tepat untuk membubuhkan cerita di setiap pendakian. Kartu Uno bergabung masuk dalam lingkaran kami. Wira, mendapat panggung dan perhatian kami semua malam itu. Entah karena faktor lelah atau memang ia tidak dapat melihat dengan benar padahal sudah dibantu dengan diterangi lampu tenda dan juga headlamp, kerap kali ia dengan percaya dirinya mengeluarkan kartu namun angka atau warnanya tidak sesuai. Pernah sesekali ia mengucap “Uno” dengan kartu yang dikeluarkannya salah, bukannya menang, mau tak mau ia musti menambah kartunya hingga berujung kalah. Pada tiap rondenya, ada saja ulah Wira tersebut, hingga pada pukul 10 malam kami memutuskan menyudahinya kemudian tidur.
***
Keesokan paginya
Pukul 2 dini hari, bergantian dari kami terbangun. Ada yang terbangun karena menggigil, ada yang terbangun tersentuh getaran gigil sekadar mencari sumber getaran kemudian tidur lagi, ada pula yang bangun karena mendengar suara asing.
“Kenapa lu Wir?” tanyaku dalam setengah sadar.
“Keram bang, kaki gua.”
“Yaudah pakein salep tuh wir” Jamil menimpali.
Sembari mengoles salep ke kakinya, “lah mil, kok lu pindah?” tanya Wira yang baru tersadar.
“Itutuh, Bang Aryl ngorok, makanya aku pindah kesini (tenda Maudi dan Louis)” kata Jamil.
“Ah elu Mil, kan dah biasa, dah sering, efek bawaan berat itutuh.” sanggahku,
“Halah, alesan” timpal Jamil dengan sedikit kesal.
“Eh, pas gue bangun, gue denger kaya suara babi lagi ngendus di sekitar tenda kita dah” ungkap Wira.
“Iya wir? kaya gimana emang?” tanyaku.
“Ya gitu bang, ngok-ngok, cuma lebih berat suaranya.”
“Gue juga denger tuh! tapi kok kaya aneh gitu ya suaranya” Maudi menambahi.
“Ah, bukan bang, itu suara gue kayanya hahaha mampet idung gue semaleman” timbrung Louis yang ternyata juga terjaga.
“Ah masa iya bang? tapi bisa jadi sih, gue mikir soalnya suaranya aneh” sanggah Wira.
“Iya bang, kebangun terus gue karena mampet tapi ga denger itu suara. Berarti itu suara ngorok gue, dah biasa juga kaya gitu temen gue juga pernah bingung kaya elu pada haha.”
“Yah pantes lu bang haha dasar” serempak kami mengumpat.
Subuh kala itu sedang berkabut. Gemercik pun terdengar dari atap tenda. Entah memang gerimis, ataupun kabut yang melintas membawa bulir embun. Kami menunggu sampai cuaca memungkinkan untuk summit. Padahal, sebenarnya mungkin-mungkin saja jika kami mau beranjak, namun, dingin yang dirasa ditambah kabut yang menyelimuti memudarkan semangat kami. Sembari menunggu, kami mempersiapkan apa saja yang akan dibawa nanti.
Pos 3 – Batu Tatah estimasi 1,5 jam
Pukul 5.45 kami memulai pendakian. Trek berupa tanah yang menanjak terpampang di hadapan kami. Target kami ingin menyaksikan sunrise di pos Sunrise Camp, kami serentak mempercepat langkah kaki. Sebenarnya, di pos 3 pun bisa. Namun, posisi pos Sunrise Camp yang lebih tinggi dan lebih terbuka membuat kita dapat lebih leluasa menikmati matahari terbit. Satu, dua, tiga kali, bukannya mempercepat langkah kaki kami untuk segera sampai, kami beberapa kali malah terhenti karena nafas dan ritme yang belum beraturan sembari melihat kebelakang, indah sekali. Bagaimana mungkin kami melewatkan fenomena Arunika begitu saja, proses matahari terbit mulai dari sisi teratas matahari yang perlahan muncul hingga menampakkan seluruh tubuhnya.
“Bang Arylllll, cepetan!” suara Jamil memanggil dari kejauhan
Reflek. Ku lihat ke depan, ternyata sudah jauh sekali jarakku dengan yang lain. Posisi ku memang di barisan belakang. Selain karena tidak adanya motivasi yang mendorongku untuk melangkah cepat, akupun terhipnotis pada fenomena tersebut; asik melongo, mendokumentasi, serta membiarkan pancaran hangatnya sinar matahari membujuri tubuhku, nikmat. Segera ku menyusul mereka. “Iyaiyaaaa” jawabku terlambat.
***
Sunrise Camp. Kata tersebut terpampang di plang yang terbuat dari kayu. Jamil, Wira dan Louis duduk menunggu.
“Maudi mana?” tanyaku.
“Itu bang,” jawab Wira sambil menunjuk ke suatu tempat.
Ku lihat, Maudi sedang asik berseru bersama kelompok lain. Berdendang bersama diiringi alat musik, mulai dari Ukulele, gendang kecil, hingga menggunakan botol kosong yang diadu dan sendok yang ditabuh ke nesting.
Aku menyusulnya. Niat awalku, hanya ingin menjemputnya kemudian mengajak melanjutkan pendakian. Namun, aku malah terbawa suasana sembari asik mendokumentasikan. Satu, dua lagu pun berlalu. Hal yang selalu ku rindukan di setiap pendakian; membaur dan sok kenal dengan kelompok lain hingga berujung bersahabat selamanya. Ku lihat tempat dimana Jamil, Wira dan Louis tadi duduk menunggu, ternyata mereka sudah tidak ada.
“Di, ayo cepet kita susul, dah pada duluan.”
“Eh iyaiya, ayo” jawab Maudi.
Kami berdua berpamitan, bersegera menyusul. Belum lama kami berjalan cepat akhirnya berjumpa kembali dengan Louis, Jamil, dan Wira. Jalur menuju Pos Batu Tatah lebih susah dari sebelumnya, jalur semakin terjal, dan melewati lebih sering bebatuan.
“Semangat-semangat, oke-oke” ujar Jamil seraya meragakan gerakan untuk menyemangati yang lain.
“Apasih millll” serempak kami menanggapi ulahnya.
7.45 akhirnya kami sampai di Pos Batu Tatah. Sejenak beristirahat rukuk terlebih dulu, menyelonjorkan kedua kaki, kemudian mengkonsumsi bekal yang kami bawa.
Batu Tatah - Puncak estimasi 1 jam
8.00 kami melanjutkan pendakian. Jalur semakin menanjak dengan tingkat kemiringan yang lebih sulit dari sebelumnya. Medan pendakian lambat laun berubah berupa bebatuan. Satu yang melegakan dari pos Batu Tatah ialah puncak sudah terlihat. Serasa dekat dan semangat untuk bersegera menggapainya memuncak, namun, setelah dijalani, ternyata apa yang terlihat itu hanyalah satu dari sekian harapan-harapan cepat sampai di puncak. Setelah menggapainya, ternyata di depan telah menanti wujud yang sama, yang kami kira itu puncak. Begitu seterusnya. Tak terhitung pula berapa kali Jamil menyemangati kami dengan yel-yel ‘semangat-semangat, oke-oke’ nya.
Kabut pekat datang tiba-tiba. Kami seolah berada di studio foto berlatar kain putih. Melangkah di bawah ketidaktahuan arah, kami menjatuhkan kepercayaan pada medan berbatuan yang terlihat di depan. Tanggung, pikir kami. Sesekali air Tuhan menitik di wajah kami. Aroma petrichor menghadirkan suasana tersendiri. Syahdu. Ada yang berbeda dengan aromanya, pikirku sembari menarik napas. Samar-samar, bau belerang lah yang menyelinap masuk. Namun, aroma tersebut menandakan puncak berarti sudah dekat, derap kaki kamipun semakin mantap melangkah.
09.00, kami menginjakkan kaki di Puncak Sindoro 3.153 meter di atas permukaan laut (mdpl) tertulis di plang yang tertancap di tanah, haru, terlebih banyak drama yang telah dilewati mulai dari macet di perjalanan, disambut hujan deras sesampai di Wonosobo, mendung yang terus menghantui, jalur yang licin, hingga lain hal sebagainya. Kami memutuskan untuk tidak berlama-lama di puncak. Selain karena faktor cuaca, kami telah menyepakati hari itu juga kami harus turun. Seusai mendokumentasi, berpose bersama di depan tripod dengan kamera yang terhubung remote, mengkonsumsi bekal yang dibawa, kami pun kemudian turun.
***
“Wah, naik mas?” sapaku pada Mas Imam yang sedang berada di dekat tenda kami
“Iya nih, bawa stok. Gimana puncak, bang?”
“Berkabut tadi, jadi ga lama di puncak. Trus rencana mau langsung turun abis beberes ini.”
“Oh yaudah, bareng saya aja bang, saya tungguin.”
“Loh, langsung turun mas? Bukannya baru sampe?”
“Iya bang, biasa juga gini.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala tanda heran.
“Gapapa tapi mas nunggu kita masak sama beberes?” lanjutku.
“Iya bang, gapapa, santai, jam 2 kita turun.”
“Oke mas.”
Pamit. Ku keluarkan peralatan masak dari dalam tenda. Setelah menemukan lapang yang cukup datar untuk memasak, ku taruh, disusul Jamil datang membawa mi serta bahan yang akan dimasak. Setelah ku bantu hidupkan kompor, sisanya menjadi urusan Jamil. Aku kembali menuju tenda, membereskan sebagian barang, merunut Maudi dan Louis yang sedang asyik berkutat melipat-lipat. Wira sedang beristirahat sejenak. Berselonjor, menuruti kemauan kakinya yang acap kali berontak saat turun dari puncak. Ku ajak Maudi membereskan flysheet (kain tambahan yang membungkus tenda). Setelah selesai, ku bereskan barang lain dan ku kumpulkan yang merupakan barang bawaanku di dekat keril.
“Wah, curang, Di. Matras Wira belom keluar dari kerilnya” kataku memberi tahu pada Maudi.
“Lah iyayak, bisaan tuh anak” timpal Maudi.
“Mayan nih dikeluarin buat alas di luar, kan nanti makan tuh.”
“Wah, parah lu. Coba dah bilang Wira dulu.”
“Wir, matras lu gua keluarin ya, beberes.”
“Iya bang, pake aja” jawab Wira dengan polos mengiyakan.
“Si anying bisa aja bilangnya” sahut Maudi meledek.
“Hahaha mayan Di, buat alas. Lagian di luar itu tanah berdebu putih, matras lu mau?”
“Ih, ogaahhhhh.”
Siang itu hasil masakan cukup banyak. Mi dengan berbagai lauknya. Mi-nya saja terbagi 3 tempat; satu untuk Mas Imam dengan Louis, Wira dengan Jamil, dan Aku dengan Maudi. Pengelompokkan yang tak perlu, karena pada akhirnya kesediaan Wira lah menghabisi semuanya.
Seusai tenda kami roboh dan rapikan, sekiranya ada yang dapat diberi ke pendaki lain seperti beras, minuman sachet, cemilan, dan sebagainya, kami bungkus satukan ke dalam plastik. Setelah semua siap melanjutkan turun, Aku menyurvei sekitar sejenak mencari calon potensial yang berhak mendapat bingkisan dari kami. Selain mengurangi beban, juga membantu pendaki lain yang barangkali kekurangan. Tapi, basa-basi dulu, kasih pada yang baru naik, jangan yang mau turun juga, merepotkan.
Jam 2 tepat kami melanjutkan turun. Mas Imam menjadi leader, disusul Maudi-Jamil-Louis-Wira, baru Aku sebagai sweeper. Jangan tanya, bagaimana langkah Mas Imam yang memimpin turun. Selain trek tersebut merupakan ‘makanan’ tiap minggunya, keril yang sudah kosong dan sudah terbiasa lari saat turun, membuat kami beberapa kali kewalahan. Walau hasilnya dari Pos 3 menuju Rumah Pakde hanya 2 jam, urutan kami acak-acakan, belum lagi asal menyerobot, membiarkan diri terpeleset beberapa kali. Gaya lari pun tidak seperti lari pada umumnya, sedikit mengangkang guna menghindari kaki berontak.
***
Hening. Kami asik berselancar di dunia mayanya masing-masing. Namanya juga baru turun gunung, sekalinya dapat sinyal ya langsung saja asik sendiri, apalagi masih minggu lebaran masih banyak ucapan yang belum sempat dijawab.
Setelah bergantian mandi, kami turun menuju basecamp dimana di seberangnya ada warung yang juga menjual tiket bus. Kami berjalan perlahan, memerhatikan kondisi kaki Wira yang seakan tidak bertulang.
“mbak, ene’ tiket nggo neng Jakarta mengko bengi?” tanyaku pada perempuan penjaga warung.
“nggo piro uwong mas?” tanggapnya.
“berapa nih?” tanyaku pada yang lain.
“tiga mbak.”
“oh yowes kosek yo”
….
“ono ki, mengko jam songo bengi, arep ra?” beritahu mbak kepada kami.
“gimana? Mau ga? Ada tiket tapi jam 9 nanti.” Aku memberitahu translate kepada yang lain.
“oh yaudah gapapa, boleh-boleh” serempak Jamil, Wira, dan Maudi menjawab.
Kami pun kembali menuju rumah Mas Imam untuk memberi waktu beberes pada yang akan pulang. Tidak lama setelah itu, kami ditawari makan oleh Mas Imam. Ada kejadian yang tak terlupakan bagi kami terlebih untuk Wira. Saat hendak keluar dari ruang tamu rumah Pakde yang sedikit tinggi, tiba-tiba Wira doyong ‘lagi’ serasa kakinya tak bertulang. Padahal, saat itu di luar sedang ramai para tetangga yang datang untuk nobar pertandingan piala dunia. Aku yang berada paling belakang melihat kejadian tersebut tidak terlambat untuk tertawa sebelum akhirnya memberitahu Louis dan menertawakan bersama, baru kemudian menghampirinya dan merangkul Wira agar bisa bangun. Pecah tawa telat pun menyusul dari yang lain, yang awalnya terheran apa yang terjadi, pada akhirnya tertawa walaupun sempat terheran-heran, kok bisa yaa….
“ini ya yang bandel, udah Pakde pukul nih biar jera” Ujar Pakde yang meniru tingkah orang tua saat anaknya nangis karena suatu benda menambah pecah tawa suasana.
Menuju basecamp, Wira masih dalam kondisi dirangkul. Saat di basecamp menunggu bus dan hendak membeli jajanan, Wira pun tak kuasa berdiri sendiri, butuh bantuan, kemudian duduk lagi. Tak berselang lama, bus pun datang dan berhenti di seberang jalan. Blue Bird, tertera di badan bus, seharga 180ribu sangat worth it, pikirku. Kami pun menyebrang, dan saling berjabat tangan untuk berpisah.
Singkat cerita, Aku dan Louis pulang keesokan harinya dengan membeli tiket di tempat yang sama berharap mendapat bus serupa jua. Alih-alih bus serupa yang diharap datang, melainkan bus pariwisata yang masih kosong penumpang dan ngetem beberapa jam di depan basecamp mencari para pendaki yang hendak pulang juga. Perjalanan pun tidak se-lancar bus Jamil dkk kemarin yang sempat diobrolkan melalui media chatting. Bus kembali ngetem mencari penumpang sesampai Terminal Mendolo. Bahkan, bus akhirnya overload akibat calo, sehingga beberapa penumpang tidak mendapat kursi dan duduk di koridor bus sampai Terminal Purwokerto. Di Terminal Purwokerto pun berhenti beberapa kali, yang ku lihat sang supir menyetor uang kepada rekannya. Belum lama bus berjalan meninggalkan Terminal Purwokerto, bus tiba-tiba mogok. Kali ini aki-nya soak. Perlu beberapa jam hingga bantuan datang dari rekan yang menghampiri dan membelikan aki di dini hari. Tidak sampai hanya disitu saja malapetaka hadir. Jika saja perjalanan normal, paling tidak subuh itu kami sudah berada di Terminal Kampung Rambutan. Mungkin karena lelah dan capai batin, sang supir dan kernet tertidur lelap saat berhenti di warung makan meninggalkan para penumpangnya. Salah satu penumpang yang kesal pun membangunkan dan memaksa hendak segera melanjutkan perjalanan.
Toossss, lagi, tiba-tiba suara nyaring tersebut terdengar dari luar bersamaan badan bus yang goncang berjalan dengan ban yang tidak utuh, ban depan pecah. Sang supir tidak dapat berbuat apa-apa dan membiarkan bus tetap melaju menuju badan jalan. Sempat mengotak-atik untuk dapat melepaskan ban, namun sia-sia, sang supir menyuruh kami kembali naik namun berdiri di koridor dan memaksa bus berjalan perlahan menuju rest area untuk mengganti ban. Beberapa jam kami pun harus menunggu untuk kesekian kalinya. Para penumpang yang mulai kehabisan kesabaran meninggalkan bus hendak naik transportasi online. Sedang aku, Louis dan beberapa penumpang tetap setia melanjutkan perjalanan dengan bus tersebut. Bukan setia, namun lebih karena nanggung dan tidak ingin mengeluarkan ongkos lagi sebelum akhirnya di tengah perjalanan mau masuk jalur tol lingkar dalam, sang supir memberhentikan bus dan menyuruh penumpang melanjutkan perjalanan dengan bus yang sudah diberhentikan di belakang dengan ongkos masing-masing. Sudah kepalang malas untuk berdebat, sisa penumpang pasrah dan naik bus antar kota tersebut.
Sungguh, ngidam ku naik bus saat itu melebihi yang ku mau…
Thankyou!🙌