top of page

Perjalanan Penuh Rasa, Puncak Mahameru

Malam.. terlalu panjang. Malam.. terlalu sayang untuk dilewati begitu saja.

Seusai santap makan malam, kami mengakrabkan diri, mengisi kensunyian dengan bercakap, bergurau, hingga tawa lepas pun mewarnai malam kami kala itu. Media yang sudah pasti tidak terlewatkan untuk dibawa dan menemani setiap perjalanan kami adalah 'Kartu Uno'. Bermula dari bermain kartu Uno, hingga 'truth or dare' hukuman bagi siapa yang kalah. Beberapa ronde sudah kami lewati, waktu pun kian berlalu.. Satu per satu dari kami pun tak luput dari kekalahan. Menjadi bulan-bulanan, terlebih jika ‘truth´ menjadi hukumannya. Masing-masing individu dapat mengajukan pertanyaan, pertanyaan baru atau bisa jadi pertanyaan atas jawaban dari pertanyaan yang sebelumnya ditanyakan, mulai dari privasi hingga pertanyaan-pertanyaan tidak jelas karna malas berpikir malam-malam. Ada yang jawabannya yaa…yaudahlah, ada yang punya aib " gue kejepit jendela mobil karna gue sendiri yang neken tombolnya..... hahaha", ada juga yang jawabannya lanjut dibahas hingga setelah selesai permainan, yaaa membahas sang mantan~


Keesokan paginya, gue baru bangun disaat yang lain sudah dalam posisi duduk dan mereka berbisik, “jangan berisik, lagi asik nih dengerin tetangga ngomongin kita yang semalem”😂 catatan bagi kami memang untuk lebih tau diri saat malam hari, walau kami merasa bukan kami saja sebenarnya yang berisik, mungkin karna kami yang terlambat dalam mengakhirinya. Hal ini juga jadi catatan kita semua, kalau ingin membicarakan orang terlebih orang tersebut ada didekat kita sih ya jangan keras-keras suaranya😄 karna pribadi tiap orang kan berbeda dalam menanggapinya, ya kalau kami sih ketawa-tawa saja dijadikan bahan gurauan diantara kami~


Pagi, Ranu Kumbolo..

Ranu kumbolo di pagi tanggal 23 Oktober 2017 bak danau dalam negri mimpi.

Refleksi yang menghasilkan pantulan perbukitan serta kabut yang menyelimuti merupakan karunia Tuhan yang begitu indah pagi itu. Terlena.. Hanyut dalam menikmatinya, hingga kawanan kabut jahat menghampiri, menyirnakan pemandangan indah yang belum sempat diabadikan😫 Sedih memang, namun sebaik-baik nya memori di kehidupan kita adalah otak kita sendiri *soktegar😂 kembali ke tenda dan berbincang serius mengenai kelanjutan pendakian kami. Kubu Rakum tetap kekeuh untuk sampai disini saja karna memang kita sudah tidak ada pilihan dan waktu lebih setelah kemarin kami ‘ngaret’. Kubu Puncak pun sebaliknya ingin tetap melanjutkan pendakian, karna kalau hanya sampai Ranu Kumbolo, sepulang dari sini kami membawa ‘pr’. Akhirnya.. kami membuat opsi yang tidak dapat ditolak, kami lanjut tapi hanya membawa satu tenda dan perlengkapan yang dibawa hanya yang diperlukan untuk semalam dan summit saja, sisanya kami tinggal di tenda yang nantinya kami tinggalkan di Rakum. Kami pun sudah siap konsekuensi jika kami harus nambah hari, karna bukan tidak mungkin hal tersebut terjadi dimana kondisi kami yang baru usai summit, belum istirahat dan macam-macamnya..


Setelah kabut beranjak naik, kami pun kembali keluar tenda dan mengabarkan hasil diskusi kami ke tenda sebelah, tenda nya para perempuan. Yaaa.. seperti apa yang kami pikirkan para perempuan pasti iya-iya saja.~ tanpa aba-aba, kami berpencar. Ada yang mengambil air, ada yang nyemil sembari masak, dan ada.. yang foto-foto sampe atas tanjakan cinta, gapaham lagi masih pagi padahal..😪 Kali itu kami memasak nugget dan sayur sop, berjam-jam gue goreng nugget nya sampe orak-arik ga berbentuk, belom mateng dan keras juga.. saat gue cicip pun ternyata nugget nya sudah asam, untung ga untung kami membawa tepung pedas jadi gue balutkan agar rasanya menjadi samar😂 karna udah begitu lama, dan ternyata kompor yang gue pake itu bocor, ya gue sudahi masaknya dan kami makan bersama.

Ngopi bang~

Jam 11 tepat, kami bergegas prepare melanjutkan pendakian sekaligus membereskan barang-barang yang tidak dibawa ke tenda. Salah seorang pendaki bertanya kepada kami saat sedang mem-packing tenda yang akan kami bawa, ingin turun atau naik, kami pun bercakap dengannya. Dia ini sudah ke empat kalinya kesini, kali ini bersama teman-temannya dan ada beberapa perempuan yang ikut. Teman-teman lainnya melanjutkan pendakian, hanya saja dia tetap di Rakum karna ada perempuan juga yang tidak lanjut. Saat kami bilang, “lanjut nih bang, tapi tenda tinggal disini” dia pun agak heran mendengar jawaban kami tersebut. “Kita gembok juga kok bang, dah prepare hehe” dia pun ga menyinggungnya, hanya saja tetap namanya maling pasti banyak akal, kemudian ia pun berkata, “yaudah bang, sekalian gue jagain, kan gua disini-sini juga, ya kayanya sih sepi jadi aman” alhamdulillah..


Pukul 12.30 kami pun kumpul dan berdoa sebelum melanjutkan perjalanan



Ranu Kumbolo – Cemoro Kandang estimasi 1jam


Tanjakan Cinta berlatar Ranu Kumbolo di kejauhan..

Berselang 5menit, kami baru memulai perjalanan. Sudah pasti hadangan pertama kami adalah Tanjakan Cinta. Berpas-pasan dengan cuaca terik saat itu, membuat kami sering berhenti. Sebenarnya ada jalan lain yang menyambung dari shelter Ranu Kumbolo, lebih landai hanya saja melipir. Tapi, sudah pasti pada tau kan mitos melewati Tanjakan Cinta dengan kita memikirkan satu orang dan tidak menoleh kebelakang akan menjadi jodoh kita? Ya kalo gue sendiri sih ga menafikan hal tersebut, hanya saja terlalu sayang untuk melewati keindahan Ranu Kumbolo dari ketinggian. Gue yang terlalu asik memfoto keindahan dan video in teman-teman gue yang lewat, pada akhirnya ada yang menoleh namun ada juga yang tetap fokus melihat kedepan~ Setelah melewati Tanjakan Cinta, kita dapat melihat hamparan luas savanna Oro-oro Ombo. Begitu indah mungkin saat bunga-bunga Verbena atau yang biasa kita kira ‘Lavender-nya Semeru’ sedang mekar-mekarnya, hamparan bunga ke-unguan ditambah landscape Oro-oro Ombo yang indah. Sayang.. waktu yang tepat adalah mei-juni, diluar itu hanya melihat apa yang kami lihat yaitu berupa tanaman hitam layu nan gersang.


Oro-oro ombo yang gersang...

P.s: Sekilas tentang Bunga Verbena, bunga berwana ungu ini memang cantik dan jadi spot instgram-able. Tapi, dibalik kecantikan yang ia tawarkan, ada keresahan yang ia sebabkan. Bunga Verbena ini adalah tumbuhan parasit, ia menyerap kadar air yang lebih banyak sehingga membuat daerah sekitarnya kering. Populasinya yang sangat invasif membuat pihak TNBTS sangat mempersilahkan pendaki jika ingin membawa turun sebagai oleh-oleh dengan catatan, disimpan benar-benar didalam tas dan jangan sampai tercecer dijalanan karna dapat menyebarkan bibit baru.

Verbena Brasiliensis Vell (Lavender-nya Semeru)

Lanjut.. ujung dari Oro-oro Ombo adalah pos Cemoro Kandang, ditandai adanya pohon melintang disamping warung buatan untuk tempat beristirahat dan kondisi jalur yang kembali tertutup.



Cemoro Kandang – Jambangan estimasi 1jam


Karna kami nanjak saat weekdays, kami harus siap dengan suasana sepi termasuk warung yang tutup 😂 iya, saat itu warung di Pos Cemoro Kandang tidak beroperasi, kami pun langsung melanjutkan perjalanan. Usai beristirahat dan merapatkan jarak, pukul 13.25 kami melanjutkan perjalanan. Jalur menuju Jambangan sama seperti jalur Pos 2 menuju Pos 3, panjang dengan didominasi tanjakan dengan kondisi pepohonan yang tertutup. Lumayan menguras tenaga dan dahaga. Terlebih, jika kita melalui nya di siang hari, ada pohon rindang sedikit pasti akan duduk dan menikmatinya hahaha karna gue posisi nya didepan sebagai leader, sebisa mungkin tidak berlama-lama istirahat dan jalan duluan hingga nantinya berhenti hanya sekedar merapatkan jarak. Pada suatu ketika, waktu itu gue sadar jarak dengan belakang sudah lumayan jauh. Tapii, karna baru istirahat dan itu cukup lama, gue berniat tetep melanjutkannya. Entah hanya gue atau temen-temen gue juga merasakan, gue mencium bau wewangian diiringi semilir angin. Awalnya, baunya pekat dan kondisi saat itu memang sepi setelah melewati pohon gede nan rindang sebelah kiri. Akhirnya gue berhenti.. diem, nunggu temen-temen gue dan gue baru ceritain setelah lewatin daerah tersebut, fyuhh…😟



Jambangan – Kalimati estimasi 20menit


Singkat cerita, kami sampai di Jambangan pukul 14:40. Surgaaaaaa banget apalagi ada warung yang buka dan menjual semangka segar, pisang dan berbagai cemilan. Kami pun berkenalan, ngobrol dan sesekali si Bapak empunya warung ini bercanda dengan logat jawanya. *maafkan gue lupa nama bapaknya...* Bapak ini punya kebiasaan dengan menghitung berapa jumlah pendaki yang lewat dan kami termasuk yang ke-20an. Bapak juga menawarkan bisa mesan dan diantarkan Nasi Uduk dengan harga 5ribuan dengan paket lengkap! tapi mesannya dari sehari sebelumnya yaa. Bapak ini juga kerja hanya seharian saja, kalau weekend dia naik dari pagi turun malam, kalau weekdays naik saat menjelang siang dan turun saat sore, ga pernah bapaknya bermalam diatas karna kasihan keluarganya, katanya. Hasna dan Diah pun sempat menanyakan ‘problem’ perempuan ke si Bapak, nasihat panjang lebar yang intinya jangan memaksakan karna akan mengikis stamina, fokus dan terlebih summit dimulai tengah malam. Kami sempat menitip salam ke Si Bapak untuk disampaikan ke petugas pos saat turun nanti karna kami akan nambah hari supaya tidak gimana-gimana, kata si Bapak “tenang aja de, aman kok, besok kalau turun dari Kalimati juga ketemu Bapak lagi hehe” 15.05, hari semakin larut kami pun pamit dan melanjutkan perjalanan. Baru beranjak sedikit dari warung, kita sudah diperlihatkan kemegahan puncak Mahameru dari kejauhan, terlihat jelas mana batas vegetasi dengan trek berpasir menuju puncaknya. Menuju Kalimati, kita hanya tinggal menyusuri jalanan menurun yang enak sekali karna tertutup jadi sejuk suasananya~

See?

Pukul 15.30 kami sampai di Kalimati, tempat rehat sejenak sebelum nanti malam kami melanjutkan pendakian menuju Puncak Mahameru. Rombongan pendaki lain yang lebih dulu sampai, sudah dengan tenda terbuka rapi. “aer, aer.. ada yang mau ikut ambil air?” sahut seorang pendaki. Kebetulan air yang kami bawa tidak memungkinan untuk semalam dan summit, kami pun membagi tugas. Ada yang mendirikan tenda dan ada yang mengambil air, gue dan Maudi tetap ditempat, Alip dan Fadhil ikut ambil air dengan pendaki lainnya. Karna tenda yang kami bawa hanya 1, kami mencari tempat mendirikan tenda yang dekat dengan pohon untuk menggelar hammock yang mungkin saja bisa dipakai untuk tidur sebentar nanti malam. Seusai tenda dan hammock telah siap, kami pun memasang flysheet didepan tenda agar ‘teras’ tendanya lebih luas. Satu jam lebih, rombongan yang berangkat mengambil air baru kembali. Mereka bercerita kalau tempatnya jauh dan menyusuri hutan yang lebat. Kami pun mulai masak dan coba memperhitungkan ketersediaan logistik kami hingga esok. Alhasil.. air yang tadi di refill Alip dan Fadhil pun masih kurang untuk sampai esok hari. Mau tidak mau gue dan Maudi yang mengambil air, berbekal headlamp dan tas punggung berisi botol-botol kosong kami berangkat, bismillah.. kami berdua diujung hari menyusuri hutan mencari sumber kehidupan, air.



Kalimati – Sumber mani estimasi 45menit


Suasana sunyi kalimati...

Menuju Sumber Mani sebenarnya seperti jalur Jambangan menuju Kalimati, hanya saja hutan yang lebih lebat, jalur lebih setapak dan kondisi jalur seperti menuju jurang. Bagi yang pernah menuju jurang paham betul bagaimana suasananya, rumput tinggi, bebatuan, sunyi dan tibatiba menyentuh rumput berduri. Telusur, telusur, dan telusur.. akhirnya kami sampai benar-benar dipojokan dengan sebuah shelter penampung air. Ada 3 sumber air yang dapat dimanfaatkan, satu disebelah shelter berupa jalan air yang ditadahi menggunakan seng, yang kedua bocoran dari shelter itu sendiri, dan yang terakhir ada kran pipa dishelter tersebut. Kami pun bergegas dan sudah mulai tidak nyaman karna hari mulai gelap, terlebih cerita dimana kalau sudah datang gelap sang tuan rumah atau macan hitam akan kembali kerumahnya, Sumber Mani ini untuk sekedar minum ataupun beristirahat. Gue dan Maudi ganti-gantian untuk menyinari, karna headlamp yang Maudi bawa ternyata eror, "oh men ditempat gini cuma ada satu headlamp, belum lagi untuk balik ke Kalimatinya…" gumamku... Suara rumput bergoyang, kesunyian ditempat tersebut, dan semilir angin selalu buat kami panik. Setelah botol yang kami bawa terisi semua, kami bergantian wudhu dan kami segera bergegas. Maudi didepan, dan gue dibelakangnya menerangi jalan buat kita berdua. Walau kami pakai penerangan headlamp, kami jalan lurus-lurus saja karna selama perjalanan hanya melihat kebawah. Hingga kami menemui tebing terjal, tebing 90˚ dengan ketinggian satu meter itu hanya memiliki satu pegangan akar diatas, tidak ada pijakan untuk kaki kami☹. Berhenti sejenak.. mengingat jalan.. dan coba mundur kembali untuk memastikanya. Namun, nihil.. mau tidak mau dan karna kami juga tidak tahu seberapa jauh untuk kembali ke jalan yang benar, kami pun memaksakan diri untuk ‘sedikit climbing’ di tebing tersebut. Kami bergantian dan saling membantu. Pertama Maudi, dengan menginjak kuda-kuda paha gue, dan setelah dia mencapai akar diatas, gua coba mendorongnya dari bawah. Berhasil. Giliran gue, gue kasih tas isi botol-botol gue ke Maudi, coba meraba sedikit demi sedikit naik, dan Maudi menarik dari atas. Alhamdulillah.. walau akhirnya badan lecet-lecet karna ada tanaman berduri disekitar tebing tersebut, adanya cahaya dari tempat camp melupakan rasa sakit tersebut.



Kalimati


Sesampainya di camp, Maudi ga henti-hentinya mengucapkan syukur. Kalo gue sih.. dari di Shelter Sumber Mani udah nyebut terus, parno abis😂 sampai tenda pun mereka khawatir, sempat ada rencana untuk menghampiri, untungnya gajadi. Ga kebayang kita yang salah jalur, dan mereka nyusulin lewat jalan lain, wasalam.. memang jauh dan esktrem jalan menuju Sumber Mani setelah merasakannya sendiri, usahakan jam 4 sore sudah paling lambat dalam perjalanan kembali menuju Kalimati. Next…


Karna nanti malam summit, kami pun cepat-cepat membuat mie dan minuman hangat, kemudian segera tidur. Karna tenda hanya satu, dan kami ber-6, kami pun tidur shift-shift an. Para lelaki tidur lebih dulu hingga dibangunkan jam 11, baru gantian dengan perempuannya tidur hingga pagi hari. Engga ada acara Uno, ngobrol ataupun bersenda gurau, usai makan kami para lelaki packing atas tas punggung sendiri², air 1,5L atau 600ml 2 botol, snack-snack, jas hujan, serta penghangat tubuh. Setelah itu, kami langsung ambil posisi tidur. Gue tidur di teras tenda dibalut kain tenun khas Lombok yang senantiasa gue bawa tiap perjalanan, bukan lagi sleeping bag, karna kain ini lebih hangat dan sama hal nya sleeping bag dapat menjangkau seluruh badan gue. Bertugas, Diah headset-an dengerin musik, sementara Hasna asik nonton drama korea😒 mereka jaga-jaga kalau alarm jam 11 bunyi.



Kalimati – Penanda Batas Vegetasi estimasi 1jam 15menit


Jam 11 gue terbangun karna riuh-riuh pendaki diluar, “puncak yoo puncaaakk” para pendaki bersahutan. Hasna masih asik dengan drama korea nya, Diah udah setengah sadar, dan kami kembali mengecek persiapan sebelum bergegas. Sebelumnya kami sudah janjian dengan rombongan dari Lampung tadi malam, karna salah satu dari mereka ada yang sudah pernah jadi kami mengekor untuk tau jalur. Sementara kami masih bersiap-siap dan mengumpulkan jiwa yang beterbangan, kami mempersilahkan rombongan dari Lampung tersebut duluan. Pukul 23.35 kami memulai pendakian. Dingin, mata sayup, dan kadar oksigen yang tipis adalah teman kami malam itu. Belum lama kami berjalan, kami kembali bertemu dengan mereka, kami pun mengekor dibelakangnya. Sampai sebelum batas vegetasi, jalur terus menanjak mulai dari akar-akar pohon, pasir, hingga bebatuan kecil. Kami dipersilahkan duluan dan diberi tahu tetap ikuti jalur serta perhatikan tali rafia yang diikatkan. Kami pun salip-menyalip pada akhirnya. Memang, jam-jam segitu banyak sekali godaan, entah ngantuk, nafas sesak, ataupun kaki kram. Kami mulai pelan-pelan, coba adaptasi, hingga sampai dipenanda kami merapatkan jarak dan sepakat untuk makan roti saat sampai Arcopodo saja. Kami melanjutkan perjalanan, tak terasa kami sudah memasuki jalur berpasir menuju puncak. Kami tak menemukan Plang Arcopodo, apalagi keinginan gue yang mau ‘dikasi liat’ 2 arca yang konon ada disekitar Arcopodo. Kami pun berhenti sejenak untuk istirahat dan merapatkan jarak.



Penanda Batas Vegetasi – Puncak estimasi 3jam


Cobaan yang sesungguhnya baru akan dimulai! Beranjak satu langkah dari Batas Vegatasi pun sudah tidak ada lagi pepohonan, hanya jalur pasir yang terbuka langsung berhadapan dengan alam. Angin, langit, bintang dan cahaya bulan menemani kami kala itu. Total ada 5 rombongan saat itu, ada sekitar 30an pendaki. Kami yang sebelumnya memulai summit paling akhir, kini tinggal tersisa 1 rombongan didepan. Yaaa kami mempunyai pikiran yang sama, tidak ingin dibelakang rombongan lain terlebih jika rombongan itu berjumlah banyak dan berhenti akan menyusahkan kami sendiri. Rombongan jauh didepan kami pun tadinya kami kira bintang karna hanya 1 kelip sinar, setelah jalan dan tak lama mendekat ternyata rombongan baru yang kami temui dijalur, rombongan asal Jawa Barat. Mereka tidak mendirikan tenda disekitar kami, mereka memilih didekat shelter. Namun sama, mereka kepagian sampai ditrek berpasir karna rencananya seperti kami, ingin berhenti di Arcopodo tapi tidak menemuinya. Kami pun perlahan mendahului mereka. Tetap pada formasi, gue didepan kemudian Maudi, Fadhil dan Alip. Awal-awal kita masih bersama, perlahan merenggang kemudian berjarak…


“Diiiiiii, dhilllllll, lippppppp…”

Dan ternyata… kesunyian yang menjawab sapaan gue untuk mereka kala itu. Entah dimana mereka, karna hanya barisan lampu-lampu headlamp yang terlihat dibelakang. Tapi gue percaya, mereka masih tetap lanjut naik. Kondisi trek menuju Puncak Para Dewa sangat monoton. Tanjakan berpasir tiada henti.. Kala itu, gue mem-push badan ini untuk mencapai target-target yang telah gue buat berbekal sinaran headlamp yang gue pake. Satu per satu target yang gue buat telah tercapai. Tapi, puncak tak kunjung terlihat, ditambah cuaca saat itu berkabut diiringi gerimis kecil. Mental pun tergoyah untuk segera turun mengakhiri summit attack malam itu. Apalagi cuaca saat itu membuat pesimis bisa mendapat cerah diatas. Akhirnya gue berhenti sejenak di jalur… Sekedar menenangkan diri, dan beristirahat sejenak. Melihat kebawah.. menikmati ‘doping’ disetiap pendakian gue yaitu se-sachet nutrisari.. dan sekali duakali tetap berteriak memanggil kawan-kawan gue itu. Jari-jemari gue meraba pasir agar gue dapat nyaman beristirahat. Ketika itu, gue mendapati headlamp energizer entah milik siapa. Kontan gue coba kedepan untuk memastikan masi dapat berfungsi atau tidak. Ketika gue coba kedepan, ternyata nampak bendera penanda puncak yang berkibar, sebuah oase ditengah mental gue yang sudah menyerah. Tak berlama-lama, energi gue kembali seratus persen, gue kembali melanjutkan perjalanan dan menunggu kawan-kawan gue disana.


04:10, Sesampainya dibendera gue langsung membuka tas, kemudian rebahan. Memandang langit, menangis haru. Ada rasa ga percaya akhirnya gue sampai juga. Ditengah kegobrokan mental gue, Allah masih menyemangati dengan cara-Nya yang entah kebetulan gue nemuin headlamp yang kontan langsung gue coba kedepan. Gunung yang gua pandang sebelah mata sebelumnya karna ‘5cm’, menjadi puncak pertama yang bikin gue nangis karna dapat melampaui batas maksimal diri gue sendiri, bukan Rinjani, bukan Indrapura Kerinci. Pun, mengajarkan gue arti bersyukur, bersabar dan banyak hal. Dan alhamdulillah nya menjadi klimaks dari selesainya segala rutinitas skripsi yang sebelumnya gue jalanin. "Seandainya itu udah wisuda trus toga an, mungkin lebih mewek ya gue😂" tapi ga lama rinai hujan pun turun perlahan membasahi pakaian gue dan menghapus menggantikan air mata yang sempat turun. Gue yang masih asik menyatu dengan alam, tak berpindah sedikitpun.


Langit malam bermandikan bintang, Puncak Semeru..

“Terkadang ada saat dimana gelap malam seakan lebih mengerti mu. Bercerita kepada langit malam, bersama bintang, bersama bulan. Didekap lembut hembusan angin malam, menitiskan air mata, lalu terpejam dalam rasa damai..”


ALHAMDU?LILLAH😫

Tak terasa gue terlelap dalam dekapan malam. Jam menunjukkan Pukul 5:38, gue kembali memanggil, dan akhirnya Maudi menyaut. Tak lama.. Maudi, rombongan pendaki lain diikuti Fadhil dan Alip pun sampai di puncak. Setibanya mereka, kami pun solat beralaskan kain tenun yang gue bawa. Kondisi puncak saat itu semakin berkabut pekat, kami pun menghangatkan badan dan memakan snack-snack yang kami bawa sambil menanti dan terus berharap agar cerah hadir. Namun nihil, tidak ada tanda-tanda hal tersebut akan terjadi. Hingga jam 8 pun langit masih enggan bersahabat, kami pun memutuskan untuk turun menuju Kalimati. Seni-nya mendaki, saat naik berjam-jam, saat turun hanya hitungan menit. Terlebih kontur yang berpasir namun tidak padat, kami bisa turun dengan cepat entah berlarian tapi tetap menjaga keseimbangan, ataupun merosot. Oh ya, jangan lupa untuk tetap pada patokan pohon yang diikatkan kain bali! Karna itu jalur kita naik dan turun. Sesampainya di Kalimati, kami pun sekedar makan roti kemudian beristirahat selagi perempuan memasak dan membereskan bawaannya.


Bersiap pulang..

Singkat cerita, kami sampai Ranu Kumbolo kembali jam 3 sore disertai hujan besar. Untungnya shelter dibuka, sehingga kami bermalam dishelter. Saat agak reda, kami beberes tenda yang satu dan packing carier bawaan masing² agar besok pagi sekali kami dapat langsung turun. 06.15 kami mulai turun dan sampai Ranu Pani tepat jam 09:00. Di Ranu Pani kami kembali mengurus simaksi dan membayar denda keterlambatan sehari. Walau banyak ga sesuai rencana dan tidak mendapat pemandangan bagus, setidaknya pendakian kali ini sangat bercerita di perjalanannya, apa yang kami dapatkan, rasakan, dan lewati sangat memuaskan. Sampai bertemu kembali nanti, Semeru☺

After~

Thankyou🙌

bottom of page