“Ah, iyaya, beruntung sekali waktu itu dapat terwujud semua inginku. Yaa… walaupun ada bumbu tak sedapnya, tapi itu termasuk jawaban atas keinginanku, hahaha.” pikirku
***
Libur panjang lebaran sudah pasti selalu ditunggu-tunggu olehku. Bukan hanya pulang kampung➖kumpul keluarga➖dan tradisi lebaran pada umumnya, selalu ku berpikir “Ke gunung mana ya lebaran tahun ini…”. Sudah menjadi kegiatan rutin tahunan, atau, menjadi tradisi baru bagiku untuk menyisipkan nama gunung yang hendak dituju saat mudik lebaran karena kebetulan, kampung ku berada di Jawa Tengah; daerah impian para calon mahasiswa dari Ibukota yang juga hobi mendaki gunung. Bagaimana tidak, disana menawarkan beberapa paket pendakian; Sindoro-Sumbing-Prau, Merapi-Merbabu-Andong, Ungaran-Slamet, dan berbagai gunung kecil lainnya hingga tempat bermain bernuansa alam yang tak dapat dihitung jumlahnya.
2 Juni, ku tanyakan kabar pada teman se-pendakian ku semasa kuliah dulu; Alif, Fadhil, dan Maudi. Memang, hanya mereka yang ada di otakku, selain adik kelas, dan ‘saudara’ (doktrin panggilan pada seorang teman seangkatan di organisasi Pecinta Alam Edelweis98 yang berujung menjadi saudara tak sebedarah hingga saat ini) di organisasi pecinta alam sewaktu SMA dulu. Kita berempat mempunyai keinginan yang sama; ke SS, Sindoro-Sumbing, dulu, hingga akhirnya belum terealisasi sampai saat ini karena kesibukkan masing-masing. Atas dasar itu juga, mengapa aku menanyakan mereka terlebih dahulu. Hanya berselang semenit, masing-masing mereka membalas chatting ku. Harapku, kami berempat dapat berjalan bersama untuk kesekian kalinya dan mewujudkan rencana terdahulu. Namun, ternyata hanya Maudi saja yang bisa. Alif masih recovery kakinya bekal oleh-oleh terakhir kita nanjak ke Semeru, sedangkan Fadhil akan memimpin keluarganya saat pulang kampung (re: menyupir). Kecewa? Tidak, aku dan Maudi otomatis bersepakat untuk mendaki berdua saja.
Selang berapa hari kemudian yaitu 5 Juni, dengan orang berbeda, kali ini dengan adik kelas semasa organisasi pecinta alam SMA dulu, dia yang amat sangat available dan KUY!, Zamilah namanya. Kami membuat rencana pendakian namun untuk waktu dan gunung yang berbeda. Bulan depan, Arjuno, gunung berapi di Jawa Timur menjadi pilihan kami. Awalnya, kami merencanakan pendakian tersebut sekitar pertengahan bulan Juli, berpatok jadwal kerja dan kapan enaknya Jamil (begitu biasa Zamilah disapa, selain Milah) untuk mengajukan cuti. Singkat cerita, rencana tersebut cancel setelah 12 Juni bermula ia bercerita masalah yang sedang dihadapinya, “gue pengen luapin teriak di gunung rasanya” katanya, sontak saja aku mengajak Jamil pada pendakian Sindoro ini dan “Hayuk”, sudah pasti dan tidak mungkin bahkan tidak pernah ia berkata “tidak” setiap kali diajak terlebih untuk mendaki. Selanjutnya, chattingan kami lebih mengarah bawa apa, bagaimana persiapan, kapan berangkat, dan dengan siapa saja, hingga kemudian muncul nama Wira yang merupakan ‘saudara’nya dulu saat di organisasi pecinta alam yang juga merupakan adik kelasku. Jadilah kami ber-empat dan sepakat tanggal 19 Juni berangkat menuju Wonosobo.
Kelimpungan….
Betapa tidak, 3 hari sebelum kami (aku-Maudi-Wira, karena Jamil berangkat sendiri nantinya) berkumpul di Rambutan, aku masih berada di kampung, terlebih Yogyakarta. Untungnya… hari itu aku dan keluarga telah bergegas meninggalkan Yogyakarta untuk menuju Semarang bermalam satu malam. Setiap kali bahkan setiap menitnya aku memegang hp, ku sempatkan untuk mengecek ketersediaan tiket kereta melalui applikasi dan benar saja, untungnya semesta banyak andil dalam mewujudkan keinginanku pada perjalanan kali ini. Sehari setelahnya saat sudah di Pekalongan, tepat semalam sebelum pemberangkatan keretanya, akhirnya muncul satu kursi yang ku harapkan walaupun harus berangkat saat matahari masih malu-malu memancarkan sinarnya. Selepas salat Subuh, aku berpamitan dengan orang tua dan sanak saudara ku untuk pulang menuju Jakarta sekaligus untuk mendaki nantinya.
***
Pagi-pagi namun tak begitu pagi, keesokan harinya aku iseng untuk mengecek langsung tiket bus di Terminal Kampung Rambutan. Memasang muka tembok saat berjalan di selasar yang diramaikan beberapa calo yang mencari penumpang, langsung saja aku menghampiri loket bus-bus jurusan Wonosobo. Ada beberapa opsi armada ketika kita ingin menuju Wonosobo dari Kampung Rambutan, yaitu Sinar Jaya, Karunia Bakti, Dieng Indah, DMI, dll. Ku tanyakan satu per satu dan jelas saja, sebagian tiket bus sudah ludes terjual karena masih dalam nuansa lebaran ataupun tiap armada prefer bus nya untuk arus balik dari daerah Jawa menuju Ibukota. Sekalipun ada, hanya tersisa bus Sinar Jaya jam 13.00, padahal saat itu jarum pendek jam sedang singgah pada pukul 11 siang. Segera ku pulang dan mengabari Maudi. Kami pun memutuskan gambling. Sore setelah Ashar, Maudi otw menuju Kampung Rambutan dari Bogor, sedang aku dan Wira, berangkat bersama menggunakan moda transportasi online dari rumah ku menyesuaikan waktu estimasi perjalanan Maudi sampai di Kampung Rambutan. Oh ya, Jamil sedang di Yogyakarta. Esok ia menyusul dan janjian dengan kami langsung di basecamp pendakian Sindoro via Kledung.
Sesampainya di Kampung Rambutan, aku dan Wira menghampiri Maudi yang menunggu di Masjid. Kami bertiga pun langsung menuju loket bus jurusan Wonosobo yang Pagi tadi ku temui. Lagi dan lagi, semesta sedang baik. Kami mendapat tiket bus Sinar Jaya seharga 110rb, berbeda 10rb dengan bus Karunia Bakti, 120rb, namun sudah termasuk makan malam, namun, sudah habis tiketnya. Langsung saja kami memasukan tas carrier atau keril kami ke bagasi bus. Setelahnya, kami melakukan pembayaran langsung dengan kenek di depan bus dan mendapati tiket lengkap dengan harga dan letak bangku penumpang. Sembari menunggu bus berangkat seusai Maghrib, kami membeli jajanan untuk bekal selama di perjalanan dan saat keliling, beberapa kali kami bertegur sapa dengan pendaki yang pas-pasan dengan kami dan menanyakan hendak gunung mana yang mereka tuju. Setelahnya, segera kami kembali menuju bus. Sebelum naik, aku iseng bertanya ke sang Kenek akan memakan berapa jam perjalanan kali ini. Penuturannya, 12 jam. Aku menganggapnya sebagai omong kosong belaka diluar sang Kenek memang sering bercanda sejak pertama kali kami berkomunikasi dengannya saat memesan tiket. Kami pun naik ke bus. “Bukankah di tiket sudah jelas bangku mana yang akan kita tempati?.” Mungkin bukan aku saja yang menggerutu, namun Maudi dan Wira pun sama. Setelah menggapai ekor bus, ada beberapa kursi yang kosong, namun terpencar dan setelah dilihat seksama, “Oh pantes, mereka sekeluarga atau satu rombongan dengan saudaranya” pikirku, kami pun menyerah pada keadaan, terlebih, salah kami karena masuk paling akhir, dan kami pun mau tak mau duduk terpencar.
***
Perjalanan Jakarta - Wonosobo menggunakan Bis estimasi waktu tercepat 9jam
Sebelum pendakian ini, aku ngidam betul naik bus dalam perjalanan menuju gunung yang hendak didaki. Terakhir aku seperti itu, tahun lalu saat ke Yogyakarta, saat ketinggalan kereta, hahaha. Dengan baiknya Alif menunggu dan rela menemani naik bus. Namun saat itu hanya menuju ke teman-teman yang sudah menunggu di Yogyakarta saja, ketika ke Gunung Andong di Magelang, kami pakai mobil saudara ku yang di Yogyakarta. Jadi terakhir naik bus itu ya… kira-kira saat akhir tahun 2016, saat ke Gunung Slamet bersama mereka yang menamai dirinya alumni-alumni muda dari Organisasi Siswa Pecinta Alam (SISPALA) SMA kita dulu, dan waktu itu juga karena rencanaku pada Jamil yang kemudian dia luaskan dengan mengajak yang lainnya. Dalam perjalanan kali ini, mungkin, Tuhan ingin aku lebih senang dan menikmati perjalanan ku menggunakan bus dengan macet parah yang kami alami. Kami berangkat dari Kampung Rambutan seusai maghrib, tengah malam kami masih di Karawang, dan jam 3 pagi kami baru beristirahat di rest area Subang, terbayang bagaimana macetnya? Kami kurang beruntung, bus yang kami naiki dengan kendaraan lain yang hendak menuju ke daerah Jawa, dipaksa menggunakan jalur lintas provinsi karena jalan tol saat malam itu diperuntukkan untuk puncak arus balik.
Di rest area, kami pun langsung pada kebutuhannya masing-masing; aku dan Wira ke toilet untuk buang air kecil, sedangkan Maudi salat. Setelahnya, kami pun mengantre pada barisan yang mengarah ke kasir untuk memesan makanan. Beruntung, kami salah antrean sehingga kami tahu berapa harga prasmanan tersebut dan surut niat kami. Pada akhirnya kami lebih memilih menyantap mie berbungkus sterofoam hangat saja. Setelah mendapatkannya, kami memilih makan di luar ditemani semilir angin malam yang berhembus dan reributan mesin bus yang dibiarkan menyala. Sembari menyantap mie, aku dan Maudi pun berbincang. Pandangan kami sama-sama jatuh pada seseorang yang hendak mendaki juga, ya, ia hanya seorang diri. “Kalo gue jadi dia mah Di, gue bakal ngajak ngobrol lu pada” kataku pada Maudi. Hendak membuang sampah ditangan, setelahnya, aku menghampiri Wira yang sedang duduk untuk bercakap, “Bang, gua kaga tau apa-apa kalo Jamil taunya nyusul besok. Dia ga cerita apa-apa sama gua bang.” Wira nyeletuk, aku pun tertawa menanggapinya, “Hahaha, iya Wir, dia bilang ke gue kalo ga cerita ke elu, udah aja lu dibiarin ngikut terus kontakan sama gue aja”. Tak berapa lama, aku lihat Maudi sudah mulai akrab dengan seorang pendaki yang tadi aku omongi dengan dia. “Bus jurusan Wonosobo dari Kampung Rambutan, berangkattttt!” teriak sang kernet. Para penumpang lain pun berebut naik, sedang para pendaki dan pengasik rokok naik belakangan.
“Duh sampe berapa jam ini ya de, jam segini aja baru sampe sini” salah satu penumpang bersahut pada ku.
“Iya nih bang, padahal gue sama temen-temen gue dah mikirin kalo nyampe Wonosobo kepagian gimana, eh ini baru sampe sini” jawabku
“Hahahaha” tertawa kami berdua bersamaan.
“Abang mah dah ga ngarep sampe pagi de, 12jam aja dah syukur kalo lagi gini mah”
“12 jam, Bang?”
“Iya biasanya, tapi ini aja masih sampe Subang, bisa-bisa sampe siang kita”
“Haduh…”
“Yaudah hayuk kita naik, lanjut bersabar de, doa-doa aja di dalem, hahaha”
Sekembalinya ke kursi tempat ku duduk, dua penumpang disamping ku adalah pasangan suami-istri namun sudah lanjut usia. Kali ini mereka bertukar posisi dimana sang suami di dekat jendela, dan si istri dekat ku. “Oh, karena aku mepet-mepet terus mungkin ya jadi dia bertukar posisi dengan istrinya.” pikirku. Bagaimana tidak, bagian kursi ku diambil sebagian olehnya dan dia enak tertidur pulas sementara sebagian tulang panggulku mengambang tanpa alas. Jadilah aku sindir secara halus dengan menggeser-geser dia agar kembali ke se-kursi nya. Berbuah manis, kali ini sang istri yang disamping ku hanya menempati bagian kursinya dan ketika ingin tidur, ia bersender kesebelahnya. Sebelah yang ke sang suami atuh, masa ke aku, hahaha. “Yes!” kataku dalam hati.
Harapku, dan mungkin juga harapan penumpang lain nya saat sang mentari sudah mempunyai kuasa di semesta, macet segera terurai. Namun… ternyata tidak, macet terus terjadi. Bahkan, kami baru sampai di Cirebon ketika sudah menjelang siang. “Ternyata… omongan sang kenek bukan omong kosong belaka ya. Atau, apa ini yang dinamakan omongan itu doa, dan omongan si kenek dijabah?“ pikirku… Tak lama, Maudi memberitahu ku tentang seorang pendaki tersebut. Namanya Louis, dia ternyata satu tujuan dengan kami yaitu ke Gunung Sindoro via jalur Kledung. Itu saja yang sama dengan kami, lainnya, dia berencana setelah dari Gunung Sindoro, akan ke Gunung Sumbing dan juga Gunung Slamet. Ya, sendiri… dari situ aku mulai tertarik dengan nya. Eh bukan ‘tertarik’ seperti aku tertarik pada wanita ya, hahaha. Jangan mikir aneh-aneh. Aku selalu respek dan segan dengan pendaki yang bisa melakukan pendakian sendiri. Bayangkan saja, dia harus memanggul bekal perjalanannya sendiri, tenda, nesting, dan bawaan lainnya. Minimal keril yang dipakai juga pasti berukuran 80l+. Belum lagi di jalur pendakian, ia akan berjalan sendiri menuju camp area, dan sesampainya disana membangun tenda sendiri, dan untuk sendiri, kemudian berusaha survive untuk diri nya sendiri, seluruh manajemen perjalanannya harus total. Dan karena pendakian kami kali ini jadinya hanya satu gunung, aku terpikir jika aku sanggup, mungkin aku akan ikut dengan dia saat lanjut ke Gunung Sumbing nanti, entahlah.
Memasuki waktu siang, Jamil terus mengontak dan menanyakan kepada aku ataupun Wira, sudah sampai mana, serta mengabari kami kalau ia sudah sampai di basecamp saat waktu Zuhur dengan kondisi disana ramai termasuk ada artis televisi acara talkshow di dalamnya. Jamil pun bilang, menurut ranger jangan memaksakan trek malam karena saat itu jumlah pendaki yang naik sudah mencapai 1000 an jiwa. “Ah masa iya Di, kata Jamil yang naek dah 1000 an” kataku pada Maudi. “Boong kali itu Ryl, akal-akalan dia aja biar kita ga trek malem.” tanggapnya. Selama menunggu kami, Jamil sudah puas berkeliling; ke Embung Kledung, main di basecamp dan ruang sekretariat pengurusnya, hingga ganyem mencicipi jajanan yang diperjualkan abang-abang dekat basecamp. Sedang kami, baru sampai Bumiayu. Masih ada sekitar 3 jam untuk sampai Wonosobo, itu pun kalau tidak macet. Melewati beberapa terminal, jumlah penumpang pun semakin berkurang. Oh ya, ada baiknya lain kali jika ingin ke Wonosobo gunakan bus armada Karunia Bakti (bukannya endorse inimah, hahaha.). Selain menurut kabar burung mereka diatas satu level dibanding Sinar Jaya termasuk juga harganya, namun di dalam nya sudah terdapat fasilitas toilet dan terminal yang dilewati tak sebanyak bus Sinar Jaya yang kami tumpangi. Melewati Terminal Sawangan Wonosobo, penumpang tersisa hanya kami berempat; aku, Maudi, Wira, Louis ditambah si supir yang setia senantiasa ditemani oleh sang kernet. Dari belakang kami pindah, ke bangku menengah, hingga mendekati depan. Menggerutu bersama. Tidak bisa lagi hanya sekedar duduk, terus memantau jalan yang macet diiringi hujan, dan terus melihat applikasi maps untuk mengetahui estimasi sampai di Terminal Mendolo. Sempat sesaat tertidur, ternyata bus belum juga kunjung sampai. Padahal, waktu normal yang dibutuhkan dari Terminal Sawangan - Mendolo hanya 20menit. Memasuki waktu satu jam, kami akhirnya sampai di Terminal Mendolo.
***
Terminal Mendolo – Basecamp Kledung menggunakan elf estimasi waktu 30menit
Sesampainya di terminal, kami ke toilet secara bergantian, yang lain menjaga keril dan bawaan lainnya. “Santai dulu lah bang disini, ngopi sama nyemil dulu nanti baru lanjut lagi” kata Louis. Ditemani kopi, fanta, hingga mendoan, kami pun akrab dalam satu lingkaran. Berkenalan, menanyakan hendak kemana, sampai kapan, hingga bercerita latar belakang. Ternyata, Louis baru saja resign dari tempat nya bekerja. Pendakian kali ini juga pelarian dirinya. Ya, pelarian, dirinya tak mengikutnyertakan handphone dalam perjalanannya kali ini. Agar dapat menikmati betul perjalanan, katanya. “Terkuras ideku setahun penuh, liburanku tolong jangan ganggu” seperti lirik lagu 'Diam-diam Ku Bawa Satu' karya Fourtwnty.
Melebur dalam suasana, pada akhirnya kami bersepakat untuk melakukan pendakian bersama. Mengingat dan menghitung-hitung konsumsi yang dibawa, kami pun melengkapinya dengan berbelanja ke minimarket di seberang terminal. Maudi dan Wira jalan untuk beli-beli, sedang aku dan Louis menjaga barang dan lanjut bercakap. Percakapan kami sudah jelas tidak jauh dari dunia pendakian hingga ke perintilannya. Tak lama ada bapak-bapak yang menghampiri kami. Memberi kartu nama, menjelaskan dengan singkat tujuannya, hingga mewanti-wanti kami kalau sudah tidak ada elf lagi saat itu. Waktu itu memang sudah saatnya matahari pamit, terlebih guyuran hujan ringan membasahi badan jalan diiringi hembusan angin sejuk yang membawa aroma petrichor atau aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah kering. “Ah mahal itu, bohong juga, jangan percaya. Nanti kita nyebrang aja nunggu elf nya, ada kok.” Kata Louis. Lagi-lagi kami akan gambling. Seusai Maudi dan Wira selesai berbelanja, kami pun langsung bersiap-siap melanjutkan perjalanan menuju basecamp menggunakan elf dengan harga 20rb. Barang belanjaan yang sebelumnya dibeli sengaja kami tenteng, selain agar tak kerja dua kali dalam mem-packing, bisa juga untuk bekal dalam perjalanan. Tak lama kami menunggu, semesta mengirimkan sebuah elf berhenti tepat di depan kami dan sang kenek menanyakan tujuan kami dan… cocok! Kami berangkat. Sebenarnya kondisi elf saat itu tidak sepi penumpang, malah diantara kami ada yang berdiri karena saking penuhnya. Keril pun dimasukkan secara asal oleh si kenek dan apesnya, keril ku ditaruh paling luar dengan kondisi pintu bagasi yang tidak tertutup rapat. “Aman itu bang?” tanyaku. “Udah kok aman, santai, hayuk masuk.” Omongan sang kenek tidak dapat menenangkan pikiranku. Sepanjang jalan aku memikirkan bagaimana kalo keril itu jatuh, tidak ada siapa pun yang memantau, hanya klakson mobil belakang yang jadi petunjuk kalau benar itu terjadi. Gelisah... Beberapa kali aku mengintip keluar melalui jendela walaupun tak begitu terlihat karena terhalang kepala penumpang lain dan air hujan yang membasahi. Yasudahlah, Bismillah. Belum lama elf berjalan, kembali ia berhenti memasukkan penumpang yang semakin menyesakan kondisi di badan elf. Ternyata yang masuk adalah rombongan pendaki yang kami sapa saat di Kampung Rambutan. Seperti biasa, tradisi antar pendaki adalah ramai dan saling bertanya darimana dan tujuan gunung yang hendak didaki. Hingga ternyata, kami mempunyai kesamaan dengan dua rombongan pendaki lain yang ada di elf tersebut, yaitu terkena ganasnya perjalanan menuju Wonosobo saat itu, ya… macet, hahaha, tapi belum ada yang bisa mengalahkan perjalanan kami karena Jakarta - Wonosobo memakan waktu 24jam. Rombongan pertama dalam perjalanan pulang seusai mendaki Gunung Prau, sedang yang terakhir naik, mereka turun di jalan menuju basecamp Gunung Sumbing yang hanya berjarak beberapa kilo tak jauh dari tempat kami turun setelahnya.
Sesampainya di basecamp, kami pun melihat Jamil di meja registrasi diapit dua remaja yang mungkin pegawai basecamp tersebut. Ia terlihat berpamitan sebelum menghampiri kami dan masuk bersama ke aula basecamp. Kondisi basecamp saat itu penuh sesak. Entah mereka baru akan mendaki sama seperti kami, ataupun telah mendaki namun terjebak hujan sehingga istirahat di dalam. Jamil pun berkenalan dengan Maudi dan Louis. Sesaat, Louis izin keluar dan tak lama ia kembali dengan sebotol tabung gas untuk bekal kami nanti. Kami pun berembuk membicarakan solusi terbaik untuk pendakian setelah banyak waktu yang tersita di jalanan, dan yang utama saat itu adalah bagaimana kami tidur dimalam tersebut. Louis nyeletuk, “Ikut sama gue aja yuk bang nginep dirumah warga, gue punya kenalan disini, Pakde Kuad Namanya. Tadi pas keluar gue juga sekalian kesana minta izin bermalam.” Louis melanjutkan ceritanya “Dulu, pas gue pertama kali kesini sendiri dan gatau ada basecamp ini, gue langsung aja jalan, tiba-tiba dah sampe deket pintu rimba. Padahal, gue mau beli-beli konsumsi dulu, terus ada bapak-bapak yang nanya dan kebetulan dah sore trus mendung, si Bapak ngajak gue kerumahnya, nah itu Pakde Kuad. Gue dah kaya anak nya sendiri. Ini gue kali ketiga kesini, sebelumnya selalu nginep di rumahnya.” Boleh tuh boleh, serempak kami menanggapi nya.
Kami pun bergegas menuju rumah yang dimaksud Louis. Sempat nyasar karena salah gang, akhirnya kami sampai dan langsung masuk di sambut oleh anak nya, Mas Imam. Ada juga beberapa tetangga dan kakak dari Pakde Kuad. Kami pun langsung duduk di ruang tamu rumah sederhana tersebut, beralaskan tikar, lengkap dengan jajanan nuansa lebaran dan teh manis hangat yang dihidangkan. “Eh silahkan, gausah malu-malu, anggep aja rumah sendiri” berkata kakaknya Pakde Kuad. Sebuah kalimat yang amat sangat hangat untuk kami yang baru juga duduk beberapa menit. Kemudian ia bercerita semasa mudanya yang juga gemar mendaki hingga akhirnya lanjut menjadi volunteer pada tiap kejadian, sebelum benar-benar berhenti karena digerus angka usianya. Ia berpesan kepada kami dengan menyisipkan sebuah kejadian terlebih dahulu, “Waktu itu ada anak muda yang tersesat di sini beberapa hari karena dirinya sombong dan jumawa menantang penghuni gunung untuk bertemu dengannya. Waktu itu kejadiannya ia beserta rombongan hendak summit dibagi menjadi 2 kelompok, dia kebagian posisi depan di kelompok kedua. Awal-awal barisan masih rapat, perlahan berjeda, dan semakin berjarak. Bukan hanya antar kelompoknya saja, tapi juga anggota didalamnya. Tiba-tiba kabut turun, teman belakang ia berpikiran mungkin temannya ini sudah dengan kelompok pertama, sedangkan kelompok pertama sedari awal menyadari dia masuk kelompok belakang. Sampai mereka semua berkumpul, pemuda ini tidak ada dalam rombongan. Mereka coba mencari, berteriak memanggilnya, sampai mengulang jalur yang dilewati. Tapi nihil. Akhirnya mereka lapor dan keesokannya tim SAR bergegas melakukan evakuasi. Satu, dua hari berlalu, tak kunjung ditemukan tanda-tanda. Operasi hari ketiga berjalan lebih besar, melibatkan komunitas, Basarnas, TNI, Polisi, hingga masyarakat yang kemudian dipecah menjadi beberapa kelompok untuk menyisir secara vertical dari seluruh penjuru. Selang dua hari, tim telah menyisir secara optimal di tiap titik, namun belum juga menemukan tanda-tanda si survivor. Pada saat tim kembali melakukan penyisiran untuk kesekian kalinya, suara si ‘penghuni’ mengagetkan mereka, “Saya tidak akan mengembalikan pemuda ini pada kalian.” katanya. Sadar telah berurusan dengan makhluk gaib, mereka pun meminta bantuan pada paranormal. Menurut paranormal, si pemuda telah dibawa oleh penghuni pos 4 ke sebuah batu. Namun, letak batu tersebut ia tidak mengetahuinya. Terus mencari, pada hari ke-9 ditemukan kerangka manusia di puncak Gunung Sindoro. Ternyata, setelah dicocokan dengan ciri-ciri yang di kantongi, tidak sesuai, dan hingga sekarang identitas kerangka tersebut belum diketahui walaupun sudah di otopsi di Semarang. Pencarian berlanjut. Sepuluh, sebelas, dua belas hari berlalu, satu per satu relawan mulai cabut. Hari ke-13, datang bantuan tenaga organisasi dari Yogyakarta, mereka menyisir lokasi bagian Timur Gunung yang sebelumnya juga sudah didata. Ternyata terdapat jurang dengan ketinggian sekitar 50m. Para relawan dengan berhati-hati langsung bahu-membahu menurunkan salah satu perwakilanya, dan benar saja, ditemukan mayat. Cocok dengan ciri-ciri yang dikantongi dan informasi dari paranormal, mayat ditemukan di atas batu namun dalam posisi duduk..." Sontak, kami pun kaget bukan kepalang dengan ending kejadian tersebut. Suasana pun menjadi creepy. Namun, sudah kodratnya kita sebagai manusia, rasa penasaran pun tak dapat dibendung. Kami antusias menanggapi hal tersebut, atau, hingga silih berganti bercerita dalam koridor yang sama, termasuk Louis, ia meceritakan kejadian yang tak enak yang pernah dialami nya ketika pertama kali mendaki kesini sendiri. "Nah, kembali ke kalian, niat mendaki untuk apa. Apa untuk menikmati alam, pelarian dari bisingnya Ibukota, atau apapun. Tapi, ingat, ketika kita mendaki, kita hanyalah tamu dan harus senantiasa menjaga sikap saat sedang di alam.” tiba-tiba Kakak Pakde mengingatkan. Rencana kami untuk keluar mencari makan menuruti permintaan sang perut pun sirna. Kami tenggelam dalam suasana. Ditemani teh tawar yang dapat di-refill bersanding dengan gula dan sendok untuk mengaduk, jajanan pun tak henti-hentinya kami santap. “Kruk, kruk…” berbunyi perut Wira, sontak pecah tawa diantara kami sembari melirik kepadanya, termasuk ia yang mengalihkan rasa malunya. “Heeee yaudah sana masuk, kalian makan dulu setelah itu istirahat bersiap untuk esok” kata Kakak Pakde. “Ayo mas, panganan wes siap, ayo mangan” Mas Imam menimpalinya. Kami pun masuk sembari tetap meledek Wira. Cuaca yang dingin menjadikan kami kalap dengan apa yang ada di depan kami. Nasi. Ikan Asin. Sambal. Ayam Goreng. Sayur. Dan Kerupuk, dengan lahap kami menyantapnya. Seusai #TumpukDiTengah, Jamil dengan sukarela membawanya untuk kemudian dicuci, sedang yang lain, memantapkan mentalnya untuk berhadapan dengan air dingin ala pegunungan untuk mengambil wudhu, gosok gigi dan bergantian salat. Sesudahnya, kami menanti hari esok di bawah selimut yang membungkus badan kami.
Bersambung..... Sampai nanti di Part II mengenai Pendakian Gunung Sindoro via Kledung🤲